Halaman

Jumat, 27 November 2015

Sepucuk Cinta untuk Ayah



Ayah, apa kabarmu?


Maafkan anakmu ini yang terlalu sering disibukkan dengan urusan duniawi, sehingga menanyakan kabarmu pun aku sering lupa. Baikkah engkau di sana, Ayah? Terakhir kali bertemu saat berpisah, engkau selalu mengulurkan tanganmu. Ah, beruntungnya aku masih bisa merasakan menjabat tanganmu dengan hormat, dan kau cium pipiku dengan rasa sayang. Dari situ aku merasa, rasa sayangmu dari aku kecil sampai sekarang tidak berubah, kau selalu memperlakukanku sama, seperti aku masih tetap kecil dan muda, padahal aku sesungguhnya sudah bertambah usia. Terimakasih untuk selalu memperlakukanku dengan sangat sabar, dari mengajariku naik sepeda, mengajari mencuci piring, sampai menyuapiku walaupun aku dari dulu sangat susah untuk makan.


Ayah, masihkah kau perhatikan pola makanmu? Masihkah kau laksanakan anjuran dokter? Ayah, aku selalu berharap semoga panjang umur selalu menyertaimu hingga kau nanti bisa merasakan kebahagiaan dari jerih payahmu selama ini. Ya, jerih payah yang kau berikan hanya untuk anak-anakmu ini. Maafkan anakmu yang belum berguna ini, yang belum bisa menggunakan hasil kerja kerasmu dengan sebaik-baiknya.
Ayah, masihkan engkau memperlakukan ibu dengan spesial? Sebagai bidadari yang dikirimkan Allah untukmu dan untuk kami. Masihkan ia secantik dulu? Yang senyumnya selalu menghiasi langkah kami menjadi setegar ini.


Masihkah terasa kelembutannya? Yang dengan didikannya kami bisa mengenal dan berdiri di tengah orang-orang hebat. Masihkah suaranya sering mengalun membaca ayat-Nya? Yang tanpa do’a-do’anya kami tak akan selamat merantau sejauh ini. Ayah, terimakasih engkau telah memilihkan manusia sesempurna ibuku untuk menjaga kami.


Ayah, anakmu sekarang sudah dewasa. Tahukah engkau umurku sekarang? 24 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dari situlah engkau terbukti menjadi ayah yang hebat. Namun maafkan anakmu, Ayah. Anakmu belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Nasihatmu sering tak kudengarkan. Laranganmu sering aku acuhkan. Bahkan dosa pun sering kulakukan, padahal aku tahu engkau yang menanggung dosaku sebelum aku menikah. Maafkan aku, Ayah.


Bicara soal menikah, pasti engkau telah menunggu saat-saat itu. Saat di mana anakmu ini dipinang oleh seorang pemuda seperti keinginanmu. Ya, keinginanmu. Layaknya orang tua yang lain, pasti engkau menunggu sosok yang istimewa, bukan?


Tapi maaf ayah jika sebelumnya aku telah menolak pemuda-pemuda pilihanmu. Tapi bukankah engkau mengerti bahwa semua tidak akan semudah itu jika sudah menyangkut hati? Semoga dengan itu engkau tidak menganggapku sebagai anak yang tidak berbakti.


Ayah, semoga ada saat tersendiri nanti seseorang pilihanku akan datang kepadamu. Tolong hargailah keberaniannya, keseriusannya, kebaikannya, keikhlasannya. Jangan sekali-kali kau ciutkan keinginannya untuk memilikiku. Juga jangan berharap terlalu tinggi tentang kriteria calon menantumu, karena ingatlah anakmu ini bukan seseorang yang sempurna, melainkan hanya makhluk biasa yang punya banyak kekurangan. Tapi percayalah, seseorang yang kubawa ini adalah yang terbaik. Yang dipilihkan-Nya hanya untukku. Anggaplah ia sebagai pelengkap dari kekuranganku itu.  Bukankah kau pun pernah merasakannya ketika dulu bertemu ibu?


Bagaimana kabar adik-adik? Semoga mereka selalu menjadi anak-anak yang cerdas sepertimu. Semoga mereka selalu menjadi penghibur dalam waktumu, karena anakmu ini berada jauh di perantauan dan tak bisa selalu menemani dalam setiap detiknya.


Ayah, di manapun kau berada, semoga Allah tak henti-hentinya memberikan perlindungan. Semoga setiap kebaikan yang kulakukan, Allah juga mencatat sebagai kebaikanmu. Ilmu yang kupelajari dapat menjadi lahan pahala atas semua harta yang kau keluarkan untuk pendidikanku. Semoga nantinya aku menjadi lebih mandiri, lebih banyak meluangkan waktu untukmu dan untuk ibu, menjadi kakak yang melindungi, menjadisebaik-baik istri untuk suamiku kelak, dan menjadi ibu paling dicintai anak-anaknya.

Ayah, tak henti-hentinya ku berdoa semoga engkau berumur panjang, agar kesuksesan yang kuraih nanti akan nampak di pelupuk matamu.


Yogyakarta, Agustus 2015

Anakmu,
Yassinta Noor Nafi’ah

KEMARAU



selaksa hati yang beku
semua rasa menyusut dan (mungkin) akan hilang
keraguan menyelimuti pikiran, hati tertahan
takut tersakiti kembali
takut menumbuhkan harapan, takut akan kembali pupus seperti dulu

Tuhan, jangan biarkan hati ini dipenuhi
oleh bunga-bunga harapan yang bermekaran,
jika akhirnya bunga itu harus kurus, layu, kering atau bahkan busuk
Tuhan, jika dia datang kembali,
jangan bolak-balikkan hati ini
agar tak ada sakit di akhir nanti

jika hati ini bagaikan tanah
maka hati ini serasa telah retak karena tak pernah tersiram sejuknya bayu
tapi Tuhan, jangan banjiri hati ini dengan hujan jika harus kembali kemarau
cukuplah hati ini menderu-Mu, memanggil-Mu, memekikkan nama-Mu
karena hanya Engkau lah embun tanpa keraguan
ruh tanpa kejahatan, dzat tanpa kepicikan

jangan Engkau tambatkan pikiran ini
pada satu ciptaan indahMu yang belum niscaya
biarkan aku dekat dengan-Mu, dzat yang indah dari yang Maha indah


Yogyakarta, 19 November 2014

Minggu, 08 Februari 2015

TENTANG RINDU

Hai air, mengapa panasmu bermain indah..
Bersama temanmu, keluar dr bola mata yg basah..
Hai wajah, kenapa engkau sendu? Apakah sendumu tersimpan rindu?
Hai layang2, kemana engkau terbang?
Meninggalkanku sendiri yg masih tercengang..
Dgn telapak tangan berdarah menarik ulur benang..
Hai api, kau terlihat sakti dan berani..
Tp sayang, kau belum bisa memanaskan dinginnya hati..
Hai kunci, masihkah kau berfungsi?
Membuka hatinya setelah sekian lama ia tutupi..
Terimakasih hujan, hanya kau yg pengertian..
Tak kau basahi setiap jalan, agar tak muncul sakit yg tertahan..
September 6th '14